Catatan Harian Mas Andri

Silahkan digunakan dengan bijaksana

back

Wasit untuk Diri Sendiri

18 April 2016 || 22:47:02 WIB || ClassyID

"Konflik terbesar adalah bukan dengan orang lain, melainkan dengan diri kita sendiri."

-- Garth Brooks, penyanyi country asal Amerika

 

MAMAD adalah orang yang sederhana. Jalan hidup dan pola pikirnya. Namun siapa sangka di balik itu, tampak sebuah kejujuran yang luar biasa. Di kantornya tempat bekerja, dia ogah menggunakan hanya selembar kertas untuk kepentingan pribadinya. Padahal tak ada yang melihat dan mengawasi dia. Selembar kertas dari setumpuk yang tersedia, tidak dipakai untuk keperluan dirinya. Boro-boro si Mamad kenal dengan Mr. Brooks, yang kutipannya dipakai dalam tulisan kali ini. Namun, Mamad dengan segala kepolosannya bisa memenangkan pertarungan luar biasa yang dimaksudkan Brooks. Selembar kertas bisa menjadi ajang berat bagi hati nurani Mamad. Tetapi Mamad bisa memutuskannya dengan sempurna, kertas itu milik kantor dan dia tak berhak menggunakannya. Hampir tak ada konflik di dalamnya, karena Mamad sudah mendapatkan jawabnya.

Si Mamad, tokoh itu memang hanya ada dalam film karya Sjumandjaja. Sepulang dari belajar film di Rusia, Sjumandjaja membuat film itu dengan memasang aktor andal, Drs Purnomo alias Mang Udel. Pesan dalam film ini mudah sekali ditangkap, sekali berhadapan dengan segala benturan kepentingan yang berhadapan, pilihan yang benar dan tepat haruslah yang diambil. Sekali lagi, sudah pasti sebelum memutuskan hal itu, Mamad berkonflik dalam dirinya. Beli kertas di luar lebih baik ketimbang mengambil sesuatu yang bukan menjadi miliknya.

Adakah kita sudah berlaku seperti Mamad? Rasanya berat sekali dan sudah jelas sulit untuk dilakukan. Saat berada di kantor, kita selalu kalah. Pesawat telepon di atas meja, kita ambil lalu putar nomor telepon seluler kawan untuk memastikan pertemuan reuni dengan teman lainnya semasa kuliah dulu. Persis seperti Mamad. Namun bedanya, kita kalah dengan konflik itu sendiri. Menelepon dengan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, ehm, gratis sih. Tapi apakah tindakan itu benar? Apalagi kantor sudah berbaik hati memberikan sedikit subsidi pulsa. Tentu saja kita bisa berdalih, ah, semua orang di kantor melakukan hal itu. Dan waktu yang dipakai untuk menelepon itu, toh hanya sebentar. Lagi pula, nah ini biasanya alasan yang sering muncul, kantor untung terus tapi kenaikan gaji hanya sebesar upil, jadi boleh dong memakai telepon kantor. Namun sekali waktu bila tagihan telepon di rumah melambung tinggi dan ternyata pemakai pulsa itu sang pembantu atau pengasuh anak untuk berhalo-halo dengan bedinde di luar kota, sudah jelas meledaklah kemarahan kita. Pembantu rumah tangga yang memakai telepon majikannya adalah salah satu contoh ketika benturan kepentingan terjadi, sang pembantu tidak bisa menjadi wasit yang paling adil. Semestinya, walaupun dia menguasai telepon pada masa-masa tertentu saat kedua majikannya pergi ke kerja, dia tidak boleh memakai telepon tersebut.

Benturan kepentingan sering kali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yang kelihatannya ringan sekalipun, bahkan kita lakukan sendiri tanpa kita sadari. Misalnya saja kita memarkir mobil di jalan, bukan di garasi, padahal jalan merupakan jalan umum; menggunakan internet untuk urusan pribadi, seperti chatting, mengirim dan menerima email, atau hanya sekedar untuk browsing; atau menggunakan kendaraan kantor untuk urusan dugem misalnya.

Kelihatannya memang sepele. Kita bahkan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, tanpa ada rasa bersalah. Tetapi patut diingat, bahwa hal-hal kecil seperti ini adalah awal dari dilakukannya suatu kesalahan besar. Koruptor di negara ini, dalam melakukan tindakan kriminalnya, tentu tidak ujug-ujug langsung melakukan korupsi. Sudah tentu dimulai dari hal-hal kecil seperti ini. Dari kebiasaan yang buruk dan terus dilakukan secara berulang-ulang inilah, akhirnya mereka berani melakukan kesalahan besar.

Dalam laporannya di edisi Juni 2007, Majalah Gatra secara khusus membeberkan adanya proyek-proyek pemerintah yang dinilai berbau benturan kepentingan. Perusahaan-perusaha an yang menangani proyek pemerintah tersebut dimiliki oleh pejabat atau keluarga pejabat yang masih menjabat di Pemerintahan. Negara ini pun sesungguhnya sudah menangani dan menindaklanjuti secara hukum beberapa kasus-kasus yang berbau benturan kepentingan. Kasus paling hangat mengenai benturan kepentingan ialah kasus yang menimpa PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Akhir 2007, Bapepam mengumumkan 9 nama orang dalam PT PGN yang diganjar sanksi administratif berkaitan dengan kasus informasi orang dalam (insider trading).

Tuh kan, dari hal kecil bisa menjadi kebiasaan buruk. Kita memang dihadapkan pada keadaan yang dilematis ketika menghadapi masalah yang terkait dengan benturan kepentingan ini. Bahkan kadang, bagai buah simalakama, `dimakan bapak mati, gak dimakan emak yang mati.' Bagaimana agar kita dapat mengatasi masalah bila terkait dengan benturan kepentingan? Pertama kali, kita harus secara sadar dan bertanggung jawab mengetahui terlebih dahulu mana kepentingan yang merupakan wilayah publik (public domain) dan wilayah pribadi (private domain). Setelah kita mengetahuinya, berpikirlah dengan hati yang jernih. Dan bila kita mau berpikir ke depan, bukan untuk kepentingan sesaat, dengan tujuan mengutamakan kemashalatan orang banyak, maka kita dapat memutuskan kebijakan dan keputusan terbaik agar terhindar dari adanya benturan kepentingan. Pada awalnya mungkin sulit, tetapi bila mau dan memang harus mau, maka selanjutnya akan mudah.

Konflik terbesar adalah bukan dengan orang lain, melainkan dengan diri kita sendiri. Sudah menjadi hukum alam, selama kita hidup di dunia benturan kepentingan akan selalu menyertai langkah kita. Persoalannya, semua terserah pada kita sendiri. Larut dalam kesenangan yang bukan menjadi hak atau meraih kemenangan dari perang yang sesungguhnyalah yang kita raih. Bisa? (190508)

 

Sumber: Wasit untuk Diri Sendiri oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta